Minggu, 29 Juli 2012

Serial Dakwah,Prinsip dan Strateginya (2 Habis)


 Taushiyah Vol V Edisi 55


 2.Al-Mau’idzoh Al-Hasanah
Mau’idzoh yaitu ucapan (nasehat,petuah,ceramah,khutbah) yang meluluhkan hati,yang mampu mendorong dan memberikan pengaruh kepada pendengar untuk melakukan apa yang diperintahk`n dan meninggalkan apa yang dilarang.Secara ringkas,memerintah dan melarang juga berarti mau’idzoh.Maka mau’idzoh hasanah ialah ucapan baik yang meluluhkan hati,yang mendorong dan memberikan pengaruh kepada pendengar untuk melakukan hal yang membawa kebaikan baginya di dunia dan akhirat.
Mau’idzoh agar sedapatnya mampu meluluhkan hati dan memberikan pengaruh,mesti diberikan dengan bahasa ubapan atau bahasa tulisan yang baik,tidak berbelit-belit,arahnya jelas,sederhana,menyentuh,enak didengar,dan menamcap dihati,membangkitkan semangat dan kekhawatiran,disamping menumbuhkan sikap harap dan sikap cemas,untuk kemudian memasuki relung jiwa pendengar.Dari hati ke hati.Kecuali jiwa yang dipenuhi kedzaliman dan hati yang buta dan ternoda karena karatan
Selain itu,mau’idzoh hasanah mesti diberikan dengan materi (bahan) yang bagus dan memadai.Pas dengan penyakit,problem dan situasi yang dihadapi pendengar.Diantara bahan yang bagus yang keseluruhannya termaktub dalam Al Quran dan Al Hadis adalah menuturkan kisah-kisah ummat terdahulu,hari akhir,janji dan ancaman Alloh swt,juga menyoroti perilaku manusia dengan segala akibatnya,lengkap dengan perumpamaan dan sindiran,dengan mengaitkannya kepada ajaran agama Islam.
Retorika,sikap dan gaya Rosululloh saw dalam memberikan mau’idzoh kiranya patut di teladani dan dicontoh.Mimik intonasi mau’idzohnya pas.Kalimat-kalimat beliau jelas dan terang.Tidak hazl (guyonan).Huruf-hurufnya halus dan pilihan.Tidak bersajak lebih-lebih menyanyi (taronnum),tetapi melepas kata-katanya sedemikian rupa,kecuali sajak yang muncul dengan sendirinya (tidak disengaja).Tidak memaksa menggunakan kata-kata yang langka yang justru dapat mengaburkan arti dan maksud yang dikehendaki.Wejangan beliau sesuai dengan akal pikiran.Sesuai dengan taraf dan tingkat kecerdasan pendengarnya.Sikapnya selalu sabar,lemah lembut,tenang dan pemaaf terhadap yang keras kepala.Rosululloh saw  bersabda:

Kamis, 26 Juli 2012

Menuju Kesempurnaan Diri



Taushiyah Vol II,Edisi 19
“Tuhanmu lebih mengetahui apa yang ada dalam hatimu; jika kamu orang-orang sholeh, maka sesungguhnya Dia Maha Pengampun bagi orang-orang yang kembali kepada Allah”.  (QS. Al Isro’: 25)
                Orang-orang sholeh yang di sebut dalam ayat ini adalah orang-orang yang sholeh jiwanya (Sholahun Nafsi). Dari kesholehan jiwa itu lalu terbentuk pula kesholehan segala ucapannya, perbuatannya dan sifatnya. Oleh karena itu barangsiapa tersaksikan melakukan amal-amal sholeh, yaitu amal yang berjalan diatas landasan syara’ dan sunnah-sunnah Nabi, maka ia patut dinyatakan sebagai orang yang sholeh jiwanya, dalam arti ia termasuk golongan orang-orang yang sholeh.
                Dalam hal ini Allah Subhanahu Wata’ala berfirman mensifati orang-orang sholeh yang tercermin dari karakter Ummah Qooimah:

“Mereka itu tidak sama; di antara Ahli Kitab itu ada golongan yang berlaku lurus: mereka membaca ayat-ayat Allah pada beberapa waktu di malam hari, sedang mereka juga bersujud (sholat); mereka beriman kepada Allah dan hari akhir; mereka menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar; dan mereka bersegera kepada pelbagai kebajikan; mereka itu termasuk orang-orang yang sholeh”. (QS. Ali Imran: 113-114)
                Ketika amal sholeh menjadi indikasi (tanda) keshalehan diri, maka orang-orang shaleh berbeda-beda derajat kesalehannya sesuai dengan tingkat perbedaan amal-amal mereka sekaligus perbedaan kedudukan mereka menurut Tuhan yang bisa diketahui oleh Allah Subhanahu Wata’ala, berdasarkan hadits:                        التقوى ههنا
Taqwa itu di sini”. (Rasulullah bersabda demikian seraya berisyarah pada dadanya tiga kali).  (HR. Muslim lihat Hadits Arbain Nawawi nomor ke-35)
                Untuk mencapai derajat keshalehan diri, mesti harus ada upaya muroqobah (mawas diri) semungkin-mungkinnya agar keshalehan diri terus stabil. Cara yang ditentukan oleh Allah Subhanahu Wata’ala untuk mencapai keshalehan diri adalah (banyak kembali kepada Allah Subhanahu Wata’ala) atau dalam kata lain katsrotul awbah (diambil dari lafadz. Al-awwabin).Ketika disebut bahwa sifat orang-orang shaleh adalah banyak kembali kepada Allah Subhanahu Wata’ala, maka bersamaan dengan itu disebut pula salah satu Asmaul HusnaNya yang menunjukan akan banyaknya ampunanNya agar tercipta kesesuaian. Artinya, bahwa orang yang banyak kembali kepada Allah pasti harapan besar banyak diampuni.
Inilah yang membedakan antara kembali kepada Allah Subhanahu Wata’ala dengan kembali kepada manusia.manakala seseorang bertambah banyak kembalinya kepada manusia, manusia akan memarahinya. Sementara seseorang bertambah banyak kembali kepada Allah Subhanahu Wata’ala maka Allah bertambah mengampuni kepadanya. Bahkan dibanding dengan kembalinya seseorang kepada Allah, ampunan Allah masih lebih luas. Oleh karena itu disebut dengan memakai lafadz (….) yang berarti untuk menguatkan pengharapan akan ampunan.
Dengan demikian ayat di atas mengandung dua hal yang mesti ada pada manusia untuk menyempurnakan dirinya, yaitu:
1.       Keshalaehan Diri (Sholahun Nafsi). Seperti ditunjukan oleh bagian ayat: 
        
Upaya mencapai keshalehan dengan kembali kepada Allah Subhanahu Wata’ala (Ishlahun Nafsi). Seperti ditunjukan oleh bagian ayat:

Dari  sini selama untuk menyempurnakan dirinya manusia bermujaahadah dengan dua hal ini niscaya dengan dengan seizin Allah ia akan sampai cita-cita dan harapannya kepada derajat kesempurnaan. Dan bulan Ramadhan merupakan saat yang tepat untuk mereflesikan dua hal itu, utamanya bagi anggota Jama’ah Dakwah. Wallahu A’lam