لَا يُؤْ مِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّى يُحِبَّ لِاَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ - رواه
البخارى و مسلم
Tidak beriman salah
seorang dari kalian sehingga cintanya kepada saudaranya bagaikan cintanya pada
dirinya sendiri.(Muttafaq ‘Alaih)
Seorang muslim
seyogyanya mencintai saudara muslimnya seperti ia mencintai dirinya sendiri.Merealisasikan
hadis tersebut secara tersurat terasa berat sekali (ash sho’bul mumtani’),seolah-olah tak sanggup.Hal ini dikarenakan
sifat egoisme individu selalu dominan,bahkan dibakar oleh masyarakat dan media-media
elektronik.Tak heran apabila kehidupan sesama muslim masih seperti kehidupan
orang-orang dalam kereta.Mereka seolah-olah berjalan dalam satu gerakan,namun
setelah kereta berhenti masing-masing menetukan nasibnya sendiri-sendiri.Kadang-kadang
mereka saling sikat,saling copet dan lainnya.
Walau
demikian,seorang muslim harus menerapkan hadis di atas.Penerapannya dengan
mengikuti makna hadis sebagai berikut:
1. Makna dari lafadz “Laa Yu’minu” adalah meniadakan kamalul iman (kesempurnaan Iman),bukan nafyul iman (meniadakan iman) sama
sekali.
2. Adanya riwayat dari Imam An Nasa’i yang menyebutkan “Minal Khoir”
sebagai tambahan “Maa yuhibbu li nafsihi”.Dengan riwayat itu realisasi hadis
tersebut terasa lebih mudah,lebih-lebih bagi yang berhati salim,sebab dimensi al khoir (kebaikan) sangat luas dan tidak terbatas serta
bisa dikembangkan sesuai dengan situasi dan kondisi.Karena itu Alloh Subhanahu
Wata’aala berfirman:
“Berlomba-lombalah dalam kebaikan” (QS Al Baqoroh: 148)
Sebelum kita merealisasikan kepada sesama muslim secara terbuka,alangkah baiknya jika kita terlebih dahulu merealisasikan secara intern antar jamah (sebagai upaya tajribah) yang telah mengikat pada Robithoh Al Ukhuwwah Al Imaniyah,dengan istilah murofaqoh atau iltizam.Dimana ikatan itu sejak semula kita arahkan menuju tahaabub (saling mencintai) untuk mencapai mah`bbatulloh.Sebab tanpa tahaabub itu kita tidak akan mencapai derajat kesempurnaan iman (mahabbatulloh).Upaya ini sesuai dengan hadis Nab
Sebelum kita merealisasikan kepada sesama muslim secara terbuka,alangkah baiknya jika kita terlebih dahulu merealisasikan secara intern antar jamah (sebagai upaya tajribah) yang telah mengikat pada Robithoh Al Ukhuwwah Al Imaniyah,dengan istilah murofaqoh atau iltizam.Dimana ikatan itu sejak semula kita arahkan menuju tahaabub (saling mencintai) untuk mencapai mah`bbatulloh.Sebab tanpa tahaabub itu kita tidak akan mencapai derajat kesempurnaan iman (mahabbatulloh).Upaya ini sesuai dengan hadis Nab
لاَ تَدْخُلُوْنَ الْجَنَّةَ حَتَّى تُؤْ ِمنُوْا وَلَا تُؤْ مِنُواْ حَتَّى
تَحَبُّوا -
رواه مسلم
Kalian tidak akan masuk surga
hingga kalian beriman.Dan kalian tidak beriman sehingga kalian tahaabub (saling mencintai). (HR.Muslim)
Konsekuensi tahaabub dalam hidup berjamaah adalah sebagai berikut:
1.Wala’ (loyalitas) dan Shuhbah.
Sikap wala’ ini pertama kali ditunjukkan kepada Rois
Jamaah,sebagaimana seorang makmum harus loyal kepada imam sholatnya.Sikap wala’
ini bukan sekedar figuritas (karismatik tokoh),sekedar melepaskan dosa,atau
sekedar ketaatan kepada seorang guru ngaji.Tetapi lebih dari itu kita relakan
wala’ untuk meningkatkan aktifitas guna mencapai ridlo Alloh Subhanahu
wata’ala:
“Orang mukmin laki-laki dan perempuan,sebagian mereka harus
menampakkan wala’ kepada sebagian yang lain”. (QS At Taubah 71)
Shuhbah dalam arti ingin meniti kehidupan para sahabat bersama
Rosululloh saw.Dalam praktek tersebut para sahabat selalu kintil,memperhatikan semua kepentingan Rosululloh dan aktifitas
dakwahnya.
Untuk menuju sikap wala’ dan shuhbah seperti di atas,kita membiasakan
praktek ta’rif dan ta’aruf.Semua anggota harus memahami aktifitas dan tugasnya
masing-masing,termasuk aktifitas yang menjadi prioritas jamaah yang kita ekspos
ke luar secara formal dalam bentuk Yayasan dan Majelis Ta’lim.Sehingga saat ini
keduanya harus mulai difungsikan secara aktif,efektif dan
optimal.Garapan-garapan jangka pendek dan jangka panjang harus terprogram
secara rapi sehingga tidak berjalan karena reaksi keadaan.Semisal program dalam
menghadapi perubahan politik dan kebijaksanaan orde baru kurun 90-an
ini,bagaimana program menghadapi anggota jamaah yang telah memiliki
putra-putri baru ini,dll.
Tidak kalah perlunya dalam hal ta’rif dan ta’aruf ini adalah
kepeduliaan masing-masing Naib Manthiqy dan Naqib untuk tafaqqud (meneliti) keberadaan anggota-anggotanya.Sedapat mtngkin
meminimalkan pengangguran aktifitas.Tidak sampai dijumpai anggota kerja keras
sementara yang lain bermalas-malasan .Dalam hal ini kita membutuhkan orang yang
ringan tangan dalam melaksanankan setiap tugas.
Selain itu antar sesama jamaah seyogyanya bersikap terbuka (open
action) dan komunikatif.Praktek wala’ dan shuhbah ini perlu untuk menggalang
nushroh demi mensukseskan program-program kejamaahan.
2.Wafa’
Tugas kita setelah memasuki jamah
adalah wafa’,yaitu kesiapan memenuhi beberapa konsekuensi yang telah kita
ikrarkan dahulu.Bila konsekuensi berjamaah tidak dipedulikan,berarti sama
dengan memilih diantara tiga pilihan,yaitu taqshir,mukholafah atau khianat.Dan
ketiga pilihan itu bukanlah sifat seorang mukmin.Rosululloh saw adalah tipe
manusia yang paling wafa’,baik dalam kondisi syiddah (sulit) maupun Rokho’
(mudah).
Murofaqoh dan iltizam jamaah memerlukan wafa’.Karena itu menghadiri
majelis taushiyah misalnya,tidak ada alasan untuk tidak menghadirinya selain
udzur syar’iy.Jauhnya tempat dan kondisi diri semisal tiada bekal,kesibukan
rutin bukan termasuk udzur.Pehatikan perilaku shohabat dalam menerima
konsekuensi atas keimanannya.Mereka mengorbankan apa saja yang mereka miliki
untuk mewujudkan konsekuensi tersebut.
3.Memahami milik bersama
Hidup berj`maah adalah hidup bersama.Karena itu masing-masing anggota
harus mengetahui milik jamaah.Jika jamaah mempunyai program,baik rutin maupun
insidentil,maka harus didukung dan diupayakan keberhasilannya.Program tersebut
berarti harus diangkat sebagai kepemilikan bersama,semua merasa memiliki dan
seterusnya.Contoh progam: penyebaran ide dakwah levat majalah Al Mu’tashim dan
buletin Shuhuf,penggalangan dana lewat toko Buurika (Surabaya),Tabriika
(Malang),Mabruka (pujon) serta BMT Pujon.Pengumpulan calon generasi lewat
lembaga terpadu TK/SD Plus (dalam program di Pujon),sentralisasi aktifitas
Markazy dengan membangun gedung di Nambangan Surabaya.Penanganan daerah minus
dengan menyebar pesantren cabang (Wates-Kediri,Bendo Rejo-Ngantang,Al Ma’wa Sebaluh,Tahfidzul
Quran Putri Mantung-Pujon,Pesantren Putri Pujon Kidul,Pesantren Putra Pujon Kidul
dan lain sebagainya),penggalangan kader kecil dengan TPA/TPQ sebanyak 12 lembaga
di daerah Pujon,Batu dan Ngantang.Ternyata kita bersama memiliki asset yang
kalau sekiranya diuangkan akan bernilai jutaan rupiah,sekalipun Yayasannya mengkas-mengkis,hidup segan matipun tak
mau.Hal ini dapat terwujud,mungkin dikarenakan sisi barokah perjuangan secara
jamaah disertai niat ikhlas menjauhkan diri dari ightiror bil jamaah.
Dengan demikian setiap anggota harus mempunyai aktifitas dan garapan
dakwah yang jelas.Diupayakan dirinya harus selalu tasyghil (menyibukkan diri) dalam kancah dakwah.Jika belum,maka
harus punya azzam yang untuk itu menurut kemampuannya masing-masing.Ini baru
salah satu mengangkat program dakwah sebagai amal jama’I dai jamaah kita.
4.Sentralisasi
Sebagaimana yang paling dominan dalam tubuh manusia adalah kepala
sebagai tempat merujuk ide dan konsep gerak dan langkah anggota badan yang
lain,maka Ro’is,Naib dan Naqib juga demikian.Oleh karena itu,agar tercipta
gerak dan langkah yang sama,baik pikir maupun jiwa,maka anggota harus merujuk
kepada sentral jamaah,yaitu Rois dalam arti memahami penentuan sikap yang harus
dilakukan sehingga adanya kesenjangan selama ini seperti ikhtilaf fil fikroh,ke-eksklusifan,kekakuan,pementahan
program,pemaksaan keanggota`n (padahal ini praktek yang tidak boleh),dan
lain-lain tidak dijumpai.Oleh Karen itu agar tidak dijumai kesenjangan ,maka
anggota diharapkan mengikuti ta’lim ‘aam dan sering berkonsultasi dengan Rois
secara pribadi.Juga perlu kesadaran,bahwa produk yang dikeluarkan oleh Rois,Naib,dan
Naqib telah melalui pemikiran dan ….. yang matang.Bahkan perlu dipahami prodruk
tersebut bukan untuk kepentingan individu mereka.Karena itu anggota jamaah
harus taslim dengan produk yang telah
dikeluarkan daripada produk luar sebagai konsekuensi as sam’u wat tho’ah fiima ahabba au kariha (mendengar dan taat,baik
suka atau tidak).Sikap ini tidak didasarkan pada ta’ashshub (fanatisme),namun untuk keselamatan jamaah.
Konsekuensi sebagai muslim yang dapat tahaabub dalam berjamaah,sebagai
mana tersebut di atas terasa amat berat.Namun hal itu akan terasa ringan jika
disadari bahwa berjamaah termasuk bagian dari perjuangan.Dan perjuangan pasti
membutuhkan pengorbanan.Sebagaimana rahasia yang terungkap dari firman Alloh
ta’aala:
1. Surat Al A’rof 199
“Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah untuk
mengerjakan yang ma’ruf serta berpalinglah dari orang-orang yang bodoh”
2. Surat Al ‘Ashr ayat 3
“Dan saling nasehat –menasehatilah dengan kebenaran dan kesabar`n”
Dua ayat tersebut menunjukkan bagaimana bersikap dalam amar bil ‘urfi dan wishoyah bil haq.Sikap beramar ma’ruf akan berhadapan dengan celaan
orang-orang bodoh.Sedangkan Wishoyah akan berhadapan dengan tantangan sehingga
dituntut sabar dalam menghadapinya.
Meningkatkan aktifitas diri dalam kehidupan berjamaah dengan saling tahaabub,insyaAlloh akan
menjadikan jamaah ada ruhnya.Program-program akan terselesaikan sesuai target,karena
tidak terjadi keteledoran-keteledoran baik dari pemimpin atau anggota.Hasilnya
adalah jamaah yang solid,bagaikan satu tubuh yang sempurna,sehat dan kuat.Semua
anggota tubuh dapat difungsikan sesuai keahlian dan tugasnya masing-masing.Allohu A’lam
(Disampaikan pada Taushiyah ke-06,19 Robi’ul Awaal 1417 H / 1 Sepetmber
1996)
0 komentar:
Posting Komentar