Sekitar jam sepuluh malam,kami berenam akhirnya berangkat dari terminal Bungurasih Surabaya.Tujuan kami adalah Purwakarta,Jawa Barat.Pemberangkatan ini mundur lima jam dari rencana yang diniatkan sebelumnya.Bagaimana tidak,waktu sudah sangat malam,sehingga kami berpikir bahwa kalaupun bisa berangkat mungkin pagi esok hari.Sedangkan perjalanan menuju purwakarta bisa memakan waktu sampai 20 jam.Acara yang diadakan INSISTST (Institute for The Study of Islamic Thought and Civilizations) tersebut juga akan dimulai pagi harinya.Kami berangkat dengan menggunakan bus ekonomi dengan fasilitas AC yang tak lagi berfungsi.Padahal tiket yang kami beli adalah tiket bis eksekutif.Sebelumnya pihak yang mengajak kami gagal mendapatkan tiket kereta eksekutif. Meskipun sangat kecewa,kita bersyukur karena akhirnya bisa berangkat ke workshop spesial yang diadakan oleh INSISTS tersebut.Rencananya workshop ini akan diselenggarakan selama dua hari,yakni Sabtu-Ahad,3-4 Sya’ban 1433 / 23-24 Juni 2012.Sekitar 60 aktifis dakwah ikut serta dalam workshop ini.
Workshop on Islamic Civilization yang diadakan INSISTS ini dihadiri oleh perwakilan aktifis dakwah dari Bandung,Surabaya,Semarang,Solo dan Jabodetabek.Perwakilan dari Surabaya adalah Mas Kholili dari InPAS,Akhi As’ad dari Pesma Baitul Hikmah (Asuhan PERSYADHA),Akh Aset dari UNAIR,Akh Ihsan dari ITS, Akh Deka dari IAIN Sunan Ampel serta Saya sendiri dari PERSYADHA.Panitia dari Surabaya sendiri adalah InPAS atau Institut pemikiran dan Peradaban Islam,jaringan INSISTS untuk wilayah Jawa Timur.Sebagai sesama lembaga yang aktif dalam dunia dakwah, hubungan antara PERSYADHA dengan InPAS memang sangat baik.Sering kali terjadi kerjasama antar keduanya.Bahkan beberapa pengurus InPAS adalah murid dari Abi Ihya’ Ulumiddidn,termasuk direkturnya,dr Ghofir.Saat masih kuliah di UM (IKIP Malang),Mas Kholili bahkan pernah aktif di majalah Mafahim milik as-Shofwah.Hubungan yang terjalin dengan baik inilah yang kiranya membuat InPAS juga mengundang perwakilan dari PERSYADHA untuk hadir dalam Workshop yang diselenggarakan oleh INSISTS di Purwakarta.Dan seteleh melalui perjalanan panjang sekaligus melelahkan akhirnya kita sampai di gerbang tol Cikampek.Kita sampai di Cikampek petang hari atau setelah maghrib.Perjalanan ini benar-benar memakan waktu 20 jam.Di daerah Kendal Jawa Tengah kita sempat terjebak macet cukup lama.Konsekwensinya kami pun telah tertinggal separo dari seluruh rangkaian acara workshop.
Turun dari bis kita melanjutkan perjalanan dengan menaiki angkutan kota menuju tempat yang disana kami akan dijemput oleh panitia workshop.Dalam waktu yang sebentar kita pun sampai di tempat yang ditentukan tersebut.Saya masih ingat betul saat itu kami berhenti di depan Plasa Ramayana yang terletak di perempatan kota.Sampai disitu kami pun tidak langsung dijemput.Kurang lebih satu jam kita menunggu pihak dari panitia yang akan menjemput kami.Dalam masa menunggu itu,Mas Kholili sering mondar-mandir dan menggunakan handphonenya untuk menghubungi panitia.Akhirnya dua orang datang menjemput kami dengan mobil (kalau tidak salah Panther).Besoknya saya baru tau kalau supir yang menjemput kami itu adalah Ust Tiar Anwar Bachtair MA.Beliau adalah dosen Kampus Islam milik PERSIS yang ada di Garut sekaligus Ketua Umum Pemuda Persis.Dalam acara workshop ini beliau juga menjadi pemateri.Hanya saja kami tidak bisa mengikuti materinya karena keterlambatan tersebut.Ada dua materi yang yang terpaksa tidak bisa kami ikuti,yaitu “Manipulasi Terhadap Sejarah Islam” (Tiar Anwar Bahctiar,M.Hum),”Pentingnya Mendalami Isu-Isu Gender dan Feminisme” (Henri Sholahuddin MA), Sebelum menjalankan mobilnya,Ust Tiar juga bertanya kepada kami kenapa terlambat selama itu.
Pesantren Peradaban Islam Fakhruddin ar-Razi terletak di pedalaman desa.Tepatnya di desa Cirende,Purwakarta.Jarak antara tempat kami menunggu dan lokasi workshop kurang lebih 6 Km.Perjalanan menuju lokasi workshop tersebut melewati jalan yang berbelok-belok dan tak jarang naik turun.Mendekati lokasi pesantren kita juga melewati jalan yang belum diaspal.Kami sampai di Pesantren INSISTS tersebut kurang lebih jam delapan malam.Pesantren yang berkomitmen untuk menciptakan peradaban Islam berbasis ilmu ini masih sebatas empat bangunan sederhana sekaligus menarik yang terbuat dari kayu.Terdapat sebuah rumah,kamar mandi,masjid kecil seukuran musholla dan pendopo.Letak keempatnya terpisah namun berdekatan.Info yang saya dapatkan,pesantren tersebut belum ada yang menempati dan masih di jaga oleh penduduk setempat.Bentuk rumah dan pendopo mengambil model joglo yang dihiasi dengan anyaman bambu.INSISTS telah mendapat tanah seluas tiga hektar untuk pembangunan pesantren tersebut.Kata Pak Adnin Armas (Direktur Eksekutif INSISTS),tiga hektar tersebut insyaAlloh bisa berkembang menjadi enam hektar.Allohu Akbar walillahil Hamd.
Saat kami tiba di lokasi,Dr Adian Husaini sedang menyampaikan materi kepada peserta Workshop.Materi berjudul “Liberalisasi di Indonesia dan Bagaimana Ormas-Ormas Islam di Indonesia menghadapi Isu-Isu Liberal”.Terdapat beberapa orang di pendopo yang akhirnya menyambut kami.Melihat kami,Seorang Ustdzah yang juga istri salah satu panitia berkata: “ Ini yang dari Surabaya ya..”Ada juga seorang laki-laki tinggi besar membawa kamera yang beberapa kali mengarahkan kameranya kepada kami dengan sambutan-sambutan renyahnya.Secara tiba-tiba beliau berkata kepada Saya, “Oo ini yang dari Malang ya..”.Dengan sedikit kaget Saya menyahut; “Kok tahu kalau saya dari Malang?”,dengan bercanda beliau menjawab “Tau,dari baunya aja ketahuan..”salah seorang teman satu rombongan menambahkan,”Baunya bau apel..”Setelah makan malam dan sholat kami pun menuju masjid tempat berlangsungnya acara.Dengan ungkapan yang sama,Dr Adian Husaini juga menyambut kami.Ketika kami sampai di masjid,beliau menghentikan ceramahnya sejenak lalu berkata; “Ini yang dari Surabaya ya,Wah,pahalanya paling banyak ni..”.Dalam paparannya tersebut,Ust Adian juga menyampaikan pentingnya silaturrahmi antar sesama harokah.Dalam pandangan beliau untuk persatuan antar harokah bukanlah hal yang mudah.Tapi untuk saling silaturrahmi bukanlah hal yang sulit.Dalam menjelaskan poin ini beliau juga sempat bergurau; “Gak ada kan,orang silaturrahim kemudian diajak makan-makan lantas berkata,”Makan-makan itu bid’ah…”.Gurauan cerdas ini spontan membuat tertawa para peserta workshop.Selain silaturrahim,Ust Adian juga menyampaikan pentingnya saling menasehati antar sesama harokah.Beliau melarang sikap saling mencaci karena sikap demikian tidak diajarkan dalam Islam.”Yang ada adalah at-tawaashi..”.Begitu penjelasan beliau.Tidak ketinggalan,beliau juga sharing bagaimana usaha beliau sebagai aktifis dakwah dalam rangka saling silaturrahim dan saling menasehati tersebut.Beliau memberi contoh bagaimana suatu harokah itu beliau bela dan beliau bantu karena sikapnya yang memperjuangkan Islam.Namun ketika harokah tersebut melakukan kesalahan,beliau tidak segan-segan menasehatinya.Ust Adian juga menjelaskan panjang lebar seputar cita-cita dan gambaran dari kampus yang akan dibangun oleh INSISTS. Kurang lebih jam sepuluh malam sesi untuk Dr Adian Husaini ini selesai.Sebelum usai juga terdapat sesi tanya jawab.Beberapa panitia dan peserta masih menyempatkan diri untuk berbincang-bincang.Namun saya yang seharian telah melakukan perjalanan lebih memilih untuk langsung beristirahat.
Salah satu yang membuat workshop ini begitu istimewa adalah pelaksaannya yang sederhana.Ada yang ketinggalan seputar masjid Pesantren yang sebelumnya telah dijelaskan.Masjid berukuran musholla ini terbuat dari kayu,hanya terdiri dari satu ruangan dan temboknya hanyalah pagar bersegi empat dan tidak utuh (setengah tiang).Kebanyakan dari peserta memilih tidur di pendopo dan sebagiannya lagi tidur di masjid.Sama seperti masjid,bangunan pendopo ini juga terbuka.Hanya saja terdiri dari dua ruangan (yang satu lebih kecil dan tertutup) dan memakai model joglo.Saat itu kami (para peserta) tidak tidur di atas kasur,tetapi diatas karpet biasa dengan bantal sedanya.Ada yang menggunkan tas,pakaian dan lainnya.Kami juga tidak menggunakan selimut.Alhamdulillah,meskipun lokasi di dataran tinggi, air dan udaranya ternyata tidak dingin.Tidak hanya kami,para panitia sekaligus para intelektual INSISTS juga sama.Saya melihat sendiri bagaimana Dr Adian Husaini menggunakan ranselnya sebagai bantal.Bapak Adnin Armas MA yang juga direktur eksekutif INSISTS juga tidur satu ruangan dan tanpa menggunakan bantal seperti kami.Kurang dari setengah empat kami bangun untuk melaksanakan sholat malam secara berjama’ah.Bacaan surat setelah al-Fatihah bukanlah surat-surat dari juz 30.Tak heran,waktu yang tersisa tidak cukup untuk melakukan sholat malam delapan roka’at plus tiga roka’at witir.Kami hanya sempat melaksanakan qiyamullail Sembilan roka’at saja.Berhenti sejenak kami langsung melanjutkannya dengan sholat shubuh berjama’ah.Imam shubuh adalah Dr.Syamsuddin Arif.Intelektual INSISTS asli betawi yang tinggal sekaligus mengajar di Malaysia.Setelah membaca wirid sendiri-sendiri kami pun mendapatkan kultum dari seseorang yang tadi malam menyambut kami di pendopo dengan kameranya.Beliau juga yang sebelumnya memimpin kami melaksanakan sholat malam.Saat menjadi imam tersebut beliau berulang kali menangis saat membaca Alqur’an.Paginya saya baru diberitahu oleh mas Kholili bahwa orang tersebut adalah Ust Asep shobari Lc.Dalam penyampainnya,Ust yang juga menjadi penerjemah buku-buku terkenal ini menjelaskan pentingnya budaya ilmu untuk umat Islam serta bagaimana Alloh menjadikan setiap urusan dakwah itu akan dimudahkan.Penjelasan ini terkait dengan usaha INSISTS untuk menanam pohon sengon di tanah wakaf yang akan dijadikan universitas.Kelak pohon sengon yang di tanam di tanah puluhan hektar ini akan dijadikan salah satu modal untuk membangun kampus tersebut.Ust Asep mengutip dan menjelaskan Surat al-Mulk Ayat 15 .Tidak lama setelah kultum,Ust Asep meninggalkan lokasi workshop bersama Ust Adian.Mereka hanya mendampingi kami sampai pagi itu saja.
Kurang lebih jam enam pagi kami semua menuju lokasi tanah wakaf yang menjadi lokasi universitas yang akan dibangun INSISTS.Jaraknya lumayan jauh (kurang lebih 4 km) dari lokasi workshop. Kami menaiki mobil untuk sampai ke lokasi.Oleh panitia sesi ini disebut Olahraga Sengon Tracking.Acara ini sempat tertunda dari jadwal aslinya yaitu jam lima pagi.Panitia dan para peserta sepakat bahwa waktu itu masih cukup gelap untuk melakukan perjalanan.Setelah menaiki jalan yang naik turun dan berbelok-belok akhirnya kami semua sampai di lokasi yang dituju.Tanah wakaf seluas lebih dari 30 hektar yang dimiliki oleh INSIST ini diwakafkan oleh seorang muhsinin. Pak Guntoro namanya. Beliau Merupakan Pemilik PT Raja Sengon yang memiliki tanah sekitar 5000 hektar. Beliau terpanggil dan mewakafkan 3 hektar untuk Pesantren INSIST dan 37 Hektar untuk lokasi pendirian Kampus INSIST. Kedua lokasi itu memang terpisah. Jarak dari Lokasi Pesantren INSIST dan kampus sekitar 4 KM. Lokasi tanah wakaf ini lumayan jauh dari pemukiman penduduk dan di dataran tinggi.Saat di lokasi tanah wakaf kami sering dibuat tertawa oleh guyonan intelektual-intelelektual muda INSISTS.Temasuk Pak Adnin Armas dan Dr Syamsuddin Arif.Saat itu saya juga tau siapa lelaki kecil dan gemuk berpeci hitam,ternyata beliau adalah Ust Nu’im Hidayat MA,adiknya Dr Adian Husaini. Dalam sesi ini kami beberapa kali melakukan foto bersama.Sebelum kembali ke lokasi workshop,Dr Syamsuddin Arif memimpin doa memohon kepada Alloh agar dimudahkan serta kabulkan semua harapan dan cita-cita.Aamiin
Setelah selesai sarapan,mandi dan sholat Dluha,acara workshop dilanjutkan dengan pemateri Dr Syamsuddin Arif.Meski telat hampir dua jam dan dilaksanakan dalam satu sesi saja,materi dari Ust Syam yang berjudul “Kajian Orientalis terhadap Islam” bisa kami pahami dengan baik.Awalnya materi ini akan disampaikan dalam dua sesi.Namun karena waktu yang tidak memungkinkan materi ini disampaiakn satu sesi saja,yaitu pada (sekitar) jam sepuluh pagi sampai Dzuhur. Waktu yang singkat tersebut membuat semua materi yang ditulis Ust Syam dalam makalahnya tidak bisa dikaji semuanya dan langsung dilanjutkan dengan sesi tanya jawab.Demikianlah,workshop INSISTS ini memang santai dan sederhana.Namun demikian tetap berbobot dan menyenangkan.Selanjutnya,Doktor muda,Nirwan Syafrin menyampaikan materinya yang berjudul “Membangun Budaya Ilmu”.Materi disampaikan setelah kami selesai melaksanakan sholat dzuhur dan ashar berjama’ah dan dijama’ sekaligus makan siang.Seperti biasa materi dilanjutkan dengan tanya jawab.Hanya saja pertanyaan tidak hanya disampaikan kepada Dr Nirwan saja,tetapi juga kepada bapak Adnin Armas MA,dan Dr Syamsuddin Arif.Pada saat itu saya juga sempat mengajukan pertanyaan kepada Pak Adnin Armas seputar kenakalan generasi muda dan solusinya.Sebelum ditutup,acara workshop ini diakhiri dengan konsolidasi akhir dan laporan dari jaringan-jaringan INSISTS.Seperti PSPI (Pusat studi Peradaban Islam) Solo,inPAS Surabaya, PIMPIN (Institut Pemikiran Islam dan Pembangunan Insan),Bandung, The Center for Gender Studies (CGS), dan lainnya.Beberapa aktifis dakwah yang tidak menjadi bagian dari jaringan INSISTS namun getol melawan leberalisme seperti Indonesia Tanpa JIL (ITJ), KAZI (Kajian Zionisme Internasional),JITU (Jurnalis Islam Bersatu) Depok Islamic Study Circle (DISC) dan lain-lain juga berbicara dalam sesi ini.Acara ditutup dengan doa dan pembagian buku dan sertifikat.
Pengalaman mengikuti workshop bersama aktifis dakwah ini telah memberika kesan dan cerita yang sangat layak untuk selalu dikenang.Semua kejadian dalam workshop ini sangat berkesan.Namun ada beberapa cerita yang menurut saya termasuk yang paling unik.Diantaranya adalah saat Dr Nirwan Syafrin menyampaikan materinya.Saat itu beliau memulai materinya dengan menyinggung masalah ilmu filsafat dan kebiasaan para mahasiswa yang menukuni ilmu tersebut.Dengan sedikit bercanda Dr Nirwan mengutarakan bahwa kebiasaan mahasiswa filsafat adalah menanyakan hal-hal yang sudah mapan,bahkan yang sepele sekalipun.Mereka juga suka berperilaku nyeleneh,seperti kuliah memakai sandal jepit,rambut gondrong,penampilan asal-asalan dan tidak mandi.Saat itu banyak peserta yang menjadi tertawa.Nah,saat itu pula disebelah saya terdapat anak muda agak gemuk,pakai sarung dan berambut gondrong agak keriting.Dengan maksud bercanda,saya berkata kepada pemuda disebelah saya tersebut; “Filsafat ya,mas?”.Ternyata jawabannya adalah ya.Yang membuat saya lebih kaget lagi adalah ketika dia menjawab pertanyaan saya,”Kuliah dimana,Mas?”Pemuda gondrong itu menjawab bahwa Ia adalah mahasiswa Universitas Paramadina.Sebuah Universitas di Jakarta yang yang didirikan oleh tokoh-tokoh liberal Indonesia.Keikutsertaan mahasiswa Paramadina dalam workshop INSISTS ini tentu sangat unik. Lebih-lebih ketika mahasiswa tersebut mengambil jurusan filsafat.Dalam perbincangan singkat kami dia menjelaskan bahwa dulunya dia kuliah di UI.Setelah kuliah di Paramadina dia justru menjadi tahu bagaimana proyek-proyek liberalisasi pemikiran di Indonesia telah dijadikan proyek oleh orang-orang Paramadina untuk meraih keuntungan dari Barat.Mahasiswa umur 21 tahun ini juga telah menjalin kerjasama dengan INSISTS untuk bersama-sama melawan liberalisasi Islam di kampus Paramadina.Dalam workshop ini dia mewakili sebuah komunitas yang bernama DISC atau Depok Islamic Study Circle.Disela-sela obrolan saya dengan mahasiswa Paramadina ini saya juga berkenalan dengan pemuda dari Malang.Pemuda ini adalah teman dari mahasiswa Paramadina tersebut.Dia berasal dari Kedung Kandang dan kuliah di UI.Mahasiswa filsafat UI ini juga kaget ketika dia tahu kalau saya berasal dari Malang.Sayang sekali saya telah lupa nama kedua pemuda hebat tersebut.
Cerita spesial yang lain adalah saat panitia membagikan buku kepada peserta workshop.Sesi ini ditunggu-tunggu karena salah satu buku yang akan dibagikan adalah buku “Rihlah Ilmiyah,Prof.Dr. Wan Mohd Noor Wan Daud”.Selain isi dan tebalnya,buku ini dijual dipasaran lebih dari seratus ribu.Bahkan ada yang bilang bahwa ia telah membeli buku tersebut seharga 160.000.Prof Wan Daud sendiri adalah guru para intelektual INSISTS saat belajar di ISTAC Malaysia.Buku tebal ini berisi perjalanan kehidupan beliau.Khususnya bagaimana beliau belajar dengan dua intelektual besar yang saling bertolak belakang.Yang pertama adalah Prof Fazlurrahman,seorang tokoh liberal internasional.Selanjutnya adalah kepada Prof Naquib al-Attas,intelektual malaysia asal Indonesia yang giat melawan sekulerisme dan liberalisme.Prof Al-Attas inilah yang akhirnya menjadi pelabuhan terakhir Prof Wan Daud.Dari sini dapat dipahami kalau kemudian para peserta sangat berharap untuk mendapatkan buku Rihlah Ilmiyah tersebut.Sedangkan proses pembagian buku sendiri dilakukan dengan cara mengambil undian berupa gulungan kertas kecil.Jumlah gulungan ada (seingat saya) empat,sama dengan jumlah judul buku yang akan dibagikan.Nah,ternyata yang menjadi bagian saya bukanlah buku “Rihlah Ilmiyah” tersebut.Padahal buku itu lah yang saya harapkan.Meski sama-sama menarik dan berbobot,tiga buku selain “Rihlah Ilmiyah” memang jauh lebih tipis.Namun setelah saya melihat bahwa kemungkinan masih ada sisa dari buku “Rihlah Ilmiyah” yang telah dibagikan,saya pun memohon kepada panitia agar bersedia menukar buku saya dengan buku “Rihlah Ilmiyah”. Sebelumnya panitia telah menjelaskan bahwa buku tidak boleh ditukar kecuali dengan sesama peserta workshop.Dan ternyata ada peserta lain yang ingin menukar buku yang dia dapatkannya dengan buku Rihlah Ilmiyah.Alhamdulillah,buku Rihlah Ilmiyah yang tinggal satu itu akhirnya jatuh ke tangan saya.Selain karena saya lebih dulu.Saat menukarkan saya juga menggunakan posisi saya sebagai perwakilan dari Surabaya untuk “membujuk” panitia.Dalam workshop itu perwakilan dari Surabaya adalah peserta dari tempat yang paling jauh.Panitia juga sudah mendengar bagaimana “jerih payah” kami di Bungurasih agar bisa menghadiri workshop tersebut.Selain buku,kita juga mendapatkan tiga makalah,map INSISTS dan sertifikat.Sangat disayangkan karena kami berenam tidak ada yang membawa kamera.Teman dari ITS yang kita minta untuk memanfaatkan kamera handphonenya juga lupa.Sampai saat ini mas Kholili baru bisa memberikan satu foto yang beliau peroleh dari panitia.Itupun tidak ada kami didalamnya karena foto diambil sebelum kami sampai di lokasi acara.Cerita kami saat mengejar bis malam yang akan membawa kami pulang ke Surabaya juga tidak kalah seru.Namun rasanya tidak pas bila cerita tersebut juga disampaikan di lembaran terbatas yang mulai penuh ini.
Sejak pemberangkatan di Bungurasih dan saat di lokasi workshop saya sering mendapat pertanyaan; “Kuliah dimana,Mas?” Dengan jujur saya menjawab bahwa saya dari pesantren.Dalam workshop konsolidasi aktifis dakwah ini rasanya memang hanya saya yang dari kalangan pesantren.Selainnya adalah perwakilan dari kampus-kampus di Surabaya,Bandung,Solo,Semarang dan kota-kota di Jabodetabek.Tidak sedikit dari para peserta yang berasal dari luar Jawa.Ini memberikan kesan tersendiri bagai saya.Sekaligus menguatkan sebuah kesimpulan bahwa sebenarnya seorang santri sekalipun bisa menjadi aktifis dakwah.Artinya bisa berperan aktif dalam harokah (Pergerakan Islam).Harus diakui bahwa yang terlibat aktif dalam kancah harokah selama ini adalah kalangan mahasiswa.Mengingat begitu muliannya tugas berdakwah tentu sangat disayangkan bila kalangan santri mengabaikan tugas ini.Dalam abad perang pemikiran (al-Ghozwul Fiikri),harokah adalah keniscayaan dalam berdakwah.Bahkan Islam sendiri adalah agama harokah.Kalau kita mau memperhatikan bagaimana pergolakan dunia Islam abad ini maka akan ketahuan bahwa yang banyak berperan adalah kalangan harokah.Merekalah yang telah berperan aktif dalam mengembalikan manusia kepada keindahan Islam.Porak-porandanya sistem kapitalisme di Barat dimanfaatkan dengan baik oleh kalangan harokah untuk mengenalkan masyarakat Barat kepada keadilan Islam.Kalangan harokah juga yang berperan aktif dalam meruntuhkan dan mengambil alih kekuasaan para tiran di Timur Tengah.
Kita berharap sekaligus yakin bahwa dalam waktu dekat ini santri-santri harokah akan semakin banyak dilahirkan. Sebagai pesantren salaf yang memang berorientasi harokah,ma’had Nurul Haromain bisa terus berperan aktif dalam “proyek” besar dan bernilai surga ini.Aamiin..
Tulisan ini adalah reportase kegiatan untuk Yayasan PERSYADHA.Penulisannya terpaksa tertunda karena yang yang bersangkutan harus mengikuti ABS Kubro di Kediri selama tiga minggu.Pelaksanaan ABS Kubro adalah setelah workshop di Purwakarta.
I’tishom Abu Kayyis

0 komentar:
Posting Komentar