Mobilisasi Menjelang Ramadhan
Tidak lama lagi bulan Ramadhan menjelang. Jika hari-hari kemarin,bahkan saat ini,rasa-rasanya kita capek dengan berbagai problem perpolitikan, marilah sejenak memfokuskan diri pada problematika pembinaan jiwa sebagai upaya tazkiyatun nafs. Jika Ramadhan menjelang sementara kita belum melakukan mobilisasi ( pengerahan ) diri, tampaknya hal itu adalah bentuk kerugian, terlebih jika dillihat dari sudut pandang dakwah dalam kapasitas kejama’ahan.
Allah swt menuntut kita semua menjadi saalikul aakhiroh ( orang yang meniti jalan akhirat).1 Maksudnya tinjauan hidup di dunia harus di arahkan kepada kepentingan yang jauh ke depan, pembangunan kehidupan akhirat. Pembangunan kehidupan akhirat hanya bisa dititi melalui jalur taqwa dan menghindari hal-hal yang merusak taqwa itu. Upaya meniti jalan akhirat ini kita tidak boleh tidak harus menempuh tiga jalur yang terkait erat ( menurut ilmu tashawwuf ), yaitu jalur syaria’at, jalur thariqat dan jalur haqiqat.
Kenyataan umum di masyarakat, keberadaan tiga jalur tersebut sering kali dipraktekkan atau dipahami secara keliru. Contoh pertama, wujudnya thariqat dan haqiqat yang dipertentangkan dengan syari’at. Contoh kedua, thariqat umum diidentikan dengan hanya membaca wiridan-wiridan tertentu. Ketiga, jika orang sudah mencapai tahapan haqiqat, dia boleh ( ditolelir ) bertindak semaunya, meski melanggar sunnah. Keempat, munculnya aliran IS ( ilmu sejati ), dlsb.
Syekh Zainuddin Al Muabbari Al Malibary dalam bait-bait syi’ir yang digubahnya mengatakan,2 syari’at prakteknya adalah seseorang melaksanakan apa yang telah fardlukan oleh Allah swt kepad`nya. Jalur syariah adalah asasi, mengingat tidak bisa ditempuh dengan jalur berikutnya kecuali bila berangkat dari jalur ini. Nabi Muhammad saw bersabda :
Syekh Zainuddin Al Muabbari Al Malibary dalam bait-bait syi’ir yang digubahnya mengatakan,2 syari’at prakteknya adalah seseorang melaksanakan apa yang telah fardlukan oleh Allah swt kepad`nya. Jalur syariah adalah asasi, mengingat tidak bisa ditempuh dengan jalur berikutnya kecuali bila berangkat dari jalur ini. Nabi Muhammad saw bersabda :
اَدِّ مَا افْتَرَضَ اللهُ عَلَيْكَ تَكُنْ مِنْ اَعْبَدِ الَّناسِ وَاجْتَنِبْ مَا حَرَّمَ اللهُ عَلَيْكَ تَكُنْ مِنْ اَوْرَعِ النَّاسِ (رواه ابن عدي)
“Kerjakanlah apa yang telah ditetapkan kefardluannya oleh Allah swt kepadamu, niscaya kamu menjadi paling beribadahnya manusia, dan jauhilah apa yang telah di haramkan oleh Allah kepadamu, niscaya kamu menjadi paling menjaga dirinya manusia”.(HR.Ibnu Ady.Dlo’if.Faidlul Qodir: 1/224)
 : Berikutnya,Thoriqot ialah mengambil suatu amalan dari sekian banyak amalan yang ada. Yang diazami dilakukan dengan penuh kesemangatan dan di jadikan sebagai rutinitas, serta sebagai sebagai tumpahan harapan. Cara thariqah seperti ditempuh Ulama dahulu umumnya adalah woro’ ( hati-hati/menjaga diri ) meski terhadap perkara-perkara yang mubah. Cara thariqah yang lain seperti nyantri, mendidik ( murobbi ), berpuasa sunnah, khidmah pada dakwah atau khidmah kepada aktifis dakwah, berinfaq, sholat tahajjud, qiro’atul Qur’an, dan memperbanyak wiridan, dlsb.
Sejarah menyatakan tidak ada Salafussholih dahulu kecuali mereka memiliki tariqoh. Syekh Abdul Qadir Al Jailani misalnya berkata : “ aku tidak wushul kepada Allah swt dengan tahajjud, tidak pula dengan puasa sunnah, akan tetapi aku wushul berkat kedermawanan, tawadlu’ dan kepolosan hati.” Itu artinya thariqah beliau adalah suka berinfaq, tawadlu’ dan polos hati.
Sejarah menyatakan tidak ada Salafussholih dahulu kecuali mereka memiliki tariqoh. Syekh Abdul Qadir Al Jailani misalnya berkata : “ aku tidak wushul kepada Allah swt dengan tahajjud, tidak pula dengan puasa sunnah, akan tetapi aku wushul berkat kedermawanan, tawadlu’ dan kepolosan hati.” Itu artinya thariqah beliau adalah suka berinfaq, tawadlu’ dan polos hati.
Jika direnungkan memang cukup banyak thariqah yang bisa di tempuh. Hal ini bisa kita lihat pada periode sahabat. Hanya sja menurut standar yang minimum, para sahabat tidak tenggelam tidur di malam hari dan mesti mengkhatamkan Al-Qur’an setiap tujuh hari sekali. Dari sini seyogyanya kita memiliki thariqah, terlepas dari thariqah apa yang hendak kita pilih dari sebuah iltizamat, tentu saja dengan memperhatikan iltizamat yang telah ditetapkan sebagai komitmen anggota Jama’ah Dakwah.
Haqiqat merupakan inti daripada dua jalur diatas, bahwa ibadah macam apa yang dilakukansemata-mata sandaranya adalah Allah swt. Amal tidak menjadi andalan, meski amalnya banyak. Jalur ini bisa ditempuh bila telah dilakukan renungan yang mendalam dan ditemukan rahasia apa di balik amalnya. Hasilnya adalah keikhlasan, yakin, tsiqqoh billah, tunduk dan patuh, serta qona’ah, sebagaimana kandungan kalimat Hauqolah. Jadi haqiqat, meskipun berorientasi pada hati ( bathin ), tetapi dia bukanlah meninggalkan amal jasadi. Imam Al Hasan Al Bashri berkata : ilmu thariqat yaitu meninggalkan perhatian terhadap pahalanya beramal, bukan meninggalkan beramal”.
Dengan demikian, ketiga jalur di atas nyatanya mempunyai keterkaitan yang erat yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Ibarat orang mau menambang mutiara yang mahal ( haqiqat ) dia mesti pakai kapal ( syari’at ) dan pergi ke laut ( thariqat ). Atau ibarat orang memproduksi minyak kelapa ( haqiqat ) ia harus mengambil isi kelapa ( thariqat ) setelah memecah kulitnya ( syari’at ). Karena itu kita harus melaksanakan apa yang diperintahkan oleh Allah swt, sekaligus punya thariqah dengan menyertakan haqiqat,. Prinsip kita akhirnya, yang pokok harus beramal. Kalaulah diberi pahala, Alhamdulillah, itu adalah anugerah , dan kalaupun disiksa itu keadilan dari Allah swt. Mudah-mudahan hal ini menjadi bekal kita dalam menyambut datangnya bulan suci Ramadah`n. Marhaban yaa Ramadhan.
Wallohu A’lam
(1) Didasarkan pada firman Allah swt :
“Dan carilah kebahagiaan negeri akhirat pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu. Dan janganlah kamu melupakan bahagiaanmu dari dunia”.(QS . Al Qashshas:77)
(2) Syi’ir-syiir itu bunyinya:
“Sesungguhnya jalan meniti akhirat adalah syari’at, dan thariqat serta haqiqat. Maka perhatikanlah perumpamaanya.
Syari’at itu laksana perahu. Thariqat itu bagaikan laut. Sedang haqiqat ia seperti mutiara yang mahal harganya. Syari’at adalah mengikuti agama Dzat Yang Maha Menciptakan dan melakukan amar dan menjauhi nahi-Nya. Dan thariqat yaitu mengikuti yang lebih hati-hati. Seperti wara’ dan kemauan kuat. Sementara haqiqat adalah sampainya seseorang pada tujuan. Dan penyaksiannya pada cahaya keagungan dengan sebenarnya.”
0 komentar:
Posting Komentar