Taushiyah Vol VI Edisi 65
Kelulusan dari
ujianpengorbanan ini melengkapi kelulusan ujian-ujian lain yang diberikan
kepada beliau,seperti membangun Ka’bah,membersihkan Ka’bah dari
kemusyrikan,menghadapi Raja Namrudz,dan sebagainya.Firman Alloh swt:
“Dan Ingatlah
ketika Ibrohim di uji Tuhannya dengan beberapa kalimat (perintah dan
larangan),lalu Ibrohim menunaikannya dengan sempurna”.(QS.Al-Baqoroh;124)
Seperti halnya Nabi Ibrohim as dan Nabi Ismail as,manusia seluruhnya juga akan mendapatkan ujian.Hanya saja ujian yang dialami manusia tingkatannya lebih rendah dari ujian yang dialami para Nabi mengingat kapasitasnya yang lebih rendah dibandingkan dengan para Nabi itu.Semakin tinggi tingkatan orang dihapdapan Alloh swt maka makin besarlah nilai dan meteri ujiannya.
Seperti halnya Nabi Ibrohim as dan Nabi Ismail as,manusia seluruhnya juga akan mendapatkan ujian.Hanya saja ujian yang dialami manusia tingkatannya lebih rendah dari ujian yang dialami para Nabi mengingat kapasitasnya yang lebih rendah dibandingkan dengan para Nabi itu.Semakin tinggi tingkatan orang dihapdapan Alloh swt maka makin besarlah nilai dan meteri ujiannya.
Pertama,naluri
beragama.Naluri beragama dijelmakan dalam kebutuhan akan Tuhan,mencari-Nya lalu
menyembah dan mengagungkan-Nya,seperti dialami oleh Nabi Ibrohim as.Beliau
mencari Tuhan dan menemukan itu pada akhirnya pada keimanan.Penemuan beliau
merupakan” penemuan terbesar”manusia daripada penemuan mesin,listrik atau
rahasia-rahasia atom,karena penemuan beliau menyebabkan manusia yang tadinya
tunduk kepada alam menjadi mampu menguasai alam serta mampu menilai baik
buruknya sesuatu.”Penemuan terbesar” ini digambarkan Al Quran:
“Dia berkata: Hai
kaumku,sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu
persekutukan.Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada yang menciptakan
langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar,dan aku bukanlah
termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”(QS.Al-An’am: 78-79)
Ujian dari
naluri beragama ini bisa dilalui dengan lulus manakala manusia menempuh jalan
beriman,bukan dengan jalan wijdan (perasaan
yang diyakini).Firman Alloh swt:
“Barangsiapa Alloh
menghendaki memberikan petunjuk kepadanya,niscaya Dia melapangkan dadanya untuk
(memeluk agama) Islam.Dan barangsiapa dikehendaki Alloh kesesatannya,niscaya
Alloh menjadikan dadanya sesak lagi sempit,seolah-olah ia sedang mendaki
langit.Begitulah Alloh menimpakan siksa kepada orang-orang yang tidak beriman”.(QS.Al An’am:125)
Kedua,naluri
lawan jenis.Pengejawantahan Ghorizah
nau’ ini adalah manusia merasa butuh lawan jenisnya.Setiap manusia memiliki
libido,yaitu dorongan seksual (birahi) yang merupakan energy terbesar dalam
diri manusia.Dia butuh penyaluran bila jiwa tidak ingin tertekan.
Ujian dari
naluri ini akan dilalui dengan lulus manakala manusia menghindari bentuk
penyaluran yang menyimpang (seks abnormal),seperti samen liven (hidup serumah tanpa
menikah),zina,homoseksual,lesbian,onani,masturbasi,dan free sex (seks bebas)
lainya.Penyaluran yang aman adalah menikah dan mengndalikan diri (berpuasa)
bila belum mampu,dan bukan tabattul
(hidup membujang) apalagi rahbaniyah
(perilaku kerahiban:mengharamkan nikah).
Imam Junaid Al Baghdadi yang merupakan
tokoh Sufi berkata:”Aku membutuhkan seks seperti halnya aku membutuhkan
makanan.”Sementara Umar bin Khottob berkata:”tidak
ada yang mencegah nikah kecuali kelemahan dan kedurhakaan.” Sabda Rosululloh
saw:
يَامَعْشَرَالشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَائَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ
فَاِنّهُ اَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَاَحْصَنُ لِلْفَرْجِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ
فَاِنّهُ لَهُ وِجَاءٌ – رواه
البخارى و مسلم
Wahai golongan
pemuda,barangsiapa diantara kamu telah sanggup biaya (secara fisik maupun
psikis),maka hendaklah segera menikah,karena menikah lebih menundukkan
pandangan dan membentengi kemaluan.Barangsiapa belum sanggup biaya,hendaklah
dia berpuasa karena puasa itu dapat menjadi benteng (perisai) baginya. (HR.Bukhori Muslim)
Ketiga,naluri
mempertahankan diri.Ghorizah baqo’
ini dijelmakan dalam bentuk keinginan terus hidup,umur panjang,berkuasa,membela
diri,lari dari kematian,bekerja,makan minum,dan semacamnya.Manusai akan lulus
dari ujian ini ketika dia mencari bekal untuk kematian dengan baik,sedia
mempertaruhkan nyawa bila ada komando jihad,mengkonsumsi makanan halal dan
menjauhi sumber penghidupan yang haram.
Al Quran
menyeru menghindari sifat isrof yang berarti melampaui batas
dengan menerjang sumber yang haram atau berlebih-lebihan dari standar kemampuan
tubuh dan pencernaan.Firman Alloh swt:
“Makan dan minumlah dan jangan
berlebih-lebihan.Sesungguhnya Dia (Alloh) tidakmenyukai orang-orang yang
berlebi-lebihan.” (QS.Al-A’rof;31)
Keempat,naluri
kebebasan (hurriyatul ikhtiyar).Manusia telah diberikan kebebasn
seluas-luasnya dalam perilaku maupun pemikirannya.Manusia akan bisa lulus dari
uji materi ini bila aspek syukur terhadap adanya kebebasan ini
dikedepankan.Sebab,kalau mau,bisa saja kebebasan itu dicabut oleh Alloh swt
dengan diangkatnya piranti kebebasan itu,yaitu otak dan akal pikiran.Firman
Alloh swt:
“Dan kamu tidak mampu
berkehendak kecuali apabila dikehendaki Alloh.” (QS.At Takwir:29)
Termasuk
bagian dari syukur atas diberikannya kebebasan ini adalah tidak merebut hak-hak
demokrasi,misalnya,dengan melakukan ketidaktaatan kepada pimpinan dan atau melakukan mosi (aksi) tidak percaya
terhadapnya.
Kelima,naluri
al
halaa’ (suka berkeluh kesah lagi kikir) dan naluri al kabad (bersusah payah).Dua
naluri yang bertalian dengan cobaan yang menimpa manusia ini berdasarkan Firman
Alloh swt:
“Sesungguhnya
manusai diciptakan bersifat keluh kesah
lagi kikir.Apabila ia ditimpa kesusahan ia berkeluh kesah,dan apabila ia
mendapat kebaikan ia amat kikir.” (QS.Al
Ma’arij: 19-21)
Firman Alloh swt yang lain:
“Sesungguhnya Kami
telah menciptakan manusia berada dalam
susah payah.” (QS.Al-Balad; 4)
Uji naluri ini
akan bisa dilalui dengan lulus manakala manusai menghadapi tabiat itu dengan
mengedepankan kesabaran,tidak mudah mngeluh,tidak mengeluarkan kata-kata yang
mengesankan ketidakrelaan seperti apes,jangkrik,dan kata kotor yang
lain.Bencana kecelakaan yang menimpa manusia seperti kesulitan,kesusahan,dan
kefekiran hendaknya dijalani apa adanya
sambil menggumamkan kalimat tarji’.Bila
bencana itu dinikmati tentu lebih baik daripada diri tertekan sementara sikap
mengeluh tidak bisa mengembalikan keadaan.
Keenam,naluri
cinta diri sendiri,ananiyah,atau egois.Dengan insting ini manusia senantiasa
membanggakan diri sendiri dan cenderung memandang negatif orang lain.Ujian ini
akan berhasil manakala manusia menampakkan berpikir positif atau husnudz dzon
terhadap kaum muslimin.Jika kepada sesama kaum muslimin cara berpikir positif
ini dikedepankan maka lebih-lebih terhadap sesame jamaah yang telah diikat
dalam satu tandzim (tansiq).Sabda
Rosululloh:
لَا يُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتّى يُحِبَّ لِاَخِيْهِ مَايُحِبُّ لِنَفْسِهِ
– رواه البخارى و مسلم
“Tidak sempurna iman salah
satu kamu sehingga dia mencintai saudaranya sebagaimana mencintai dirinya
sendiri.” (HR Bukhori Muslim).
Ketujuh,naluri
jadal atau jidal (suka membantah).Manusia suka membantah walaupun terhadap
kebenaran yang jelas terpampang di depannya.Dia juga suka membantah terhadapa
perkara yang dia sendiri belum jelas atau belum tau ilmunya.Firman Alloh swt:
“Dan manusia adalah
makhluk yang yang paling banyak membantah”. (QS.Al Kahfi: 54)
Manusia bisa
melalui ujian ini dengan lulus manakala dia mengedepankan bashiroh (mata hati)
dan bersikap (berbicara,ngomong) kalau sudah jelas ilmunya dan dalam jangkauan
ilmunya.TIdak asal membantah,menolak atau mendukung suatu pendapat semata-mata
berdasarkan nafsu dan kepentingan pribadinya (interes).Dalam ibadah haji,naluri
ini dilatih untuk dikendalikan.(QS.Al Baqoroh:
197)
Kedelapan,insting
arogan (thughyan).Insting ini sangat
dominan ketika manusai memiliki pangkat (kedudukan),harta, (kekayaan),ilmu,
(kemapuan),dan keunggulan diri yang lain yang menjadikannya merasa kaya (tidak
butuh) pada orang lain.Firman Alloh swt:
“Ketahuilah,sesungguhnya
manusai benar-benar arogan kala ia melihat dirinya serba cukup.” (QS.Al
‘Alaq: 6-7)
Watak negatif
ini bisa diatasi,menurut tradisi tasawwuf,bila manusia bersikap tidak melihat
diri (adamu
ru’yatin nafsi) pada saat dia memiliki pangkat (kedudukan),harta
(kekayaan),ilmu (kemampuan),dan keunggulan diri yang lain.
Ujian yang
banyak berasal justru dari watak manusia sendiri tersebut akan bisa dilewati
dengan lulus secara global ketika manusai selalu terikat dengan syari’at (hukum-hukum
agama).Disamping syariat,manusia juga menempuh thoriqoh,yaitu menjalani hukum agama tersebut secara istiqomah dan
konsisten sampai menjadi sebuah rutinitas (wirid).Aspek
hakikat,yaitu mengetahui hikmah dan rahasia dibalik aturan agama juga perlu diperhatikan:
digali dan dipelajari terus menerus sehingga manusia tidak beragama sekedarnya atau sekedar
beragama.
Agar lulus
dari ujian besar ini,kesimpulannya,manusia harus melakukan spiritualisasi diberbagai aspek kehidupannya,dan bukannya sekularisasi.Sebuah penemuan ilmiah di Italia
baru-baru ini memutuskan,dalam salah satu rekomendasinya: “Untuk menetralkan
pengaruh teknologi yang menghilangkan
kepribadian,kita harus menggali nilai-nilai keagamaan dan spiritual.”
Wallohu A’lam
19 Dzulhijjah 1422 – 3 Maret 2002
0 komentar:
Posting Komentar