Taushiyah Volume VIII
Edisi 80
Di dunia
Islam,kita menemukan dua jenis perbedaan pendapat atau perbedaan madzhab.
Mengawali
pembahasan ini,ada sebuah kisah.Ada orang datang dan bertanya kepada ulama
besar.”Apa hukumnya mandi dan istinja’ dengan air zamzam?” tanyanya,Ulama itu
menjawab,”masalah ini adalah masalah khilaf.Ada yang membolehkan dan ada pula
yang tidak membolehkan”.Menurut pendapatmu sendiri bagaimana?” Tanya ulama
itu.”Menurut saya,boleh-boleh saja mandi dan beristinja’ dengan air
zamzam,karena tidak ada nash dalam soal ini”,jawab orang tadi.”Bagi saya
hukumnya tidak boleh,karena juga tidak ada nash dalam soal ini.Air zamzam itu
air yang mulia maka sepatutnya digunakan untuk hal-hal yang mulia.
Pertama,perbedaan
pendapat dalam masalah-masalah prinsip keyakinan atau keimanan (ikhtilaf fil
madzahib al I’tiqodiyyah).
Kedua,perbedaan
pendapat dalam masalah-masalah fiqhiyah (ikhtilaf fil madzahib al fiqhiyah)
Jenis
pertama,perbedaan pendapat (perpecahan) dalam masalah prinsip-prinsip keyakinan
hakikatnya merupakan malapetaka bagi kaum muslimin.Perbedaan ini mengakibatkan
terpecah belahnya persatuan ummat Islamyang tidak ada titik temunya.Perbedaan
pendapat ini semestinya tidak ada.Kaum muslimin seharusnya hanya meyakini satu
madzhab saja,yakni Ahlus Sunnah wal Jamaah,yang merupakan model golongan yang
menggambarkan pemikiran Islam yang asli dan murni seperti pada masa Rosululloh
saw dan masa al Khilafah ar Rosyidah.
Adapun jenis
kedua,perbedaan pendapat dalam masalah fiqhiyah,keberadaannya merupaka suatu
keniscayaan,sesuatu yang mesti terjadi dan sulit dihindari..Perbedaan pendapat
dalam masalah fiqh ini berangkat bahwa nash-nash syara’ yang ada sebagian besar
membuka penafsiran (interpretasi) tidak tunggal.Disisi lain,nash-nash itu tidak
memuat keseluruhan realitas permasalahan yang terjadi di dunia secara
detail,karena jumlah nash terbatas sedang realitas permasalahan terus
berkembang.Untuk ini diperlukan qiyas,memahami illat suatu hukum,memperhatikan
tujuan Alloh swt,menetapkan suatu hukum,memperhatikan visi dan misi dasar
syari’at dan sebagainya (ijtihad).Sementara dalam masalah ini,potensi akal para
ulama,kapasitas pengetahuan dan interpretasi mereka serta lingkunagn di mana
mereka berada berbeda antara satu dengan lainnya.Dari sinilah terjadi perbedaan
pendapat itu.Namun,mereka semuanya sama dalam upaya dan mencari
kebenaran.Selanjutnya kelak,barang siapa pendapatnya benar maka mendapatkna dua
pahala,sedang barangsiapa yang salah mendapatkan satu pahala.
Imam Malik bin Anas berkata:
مَامِنَّا اِلّا رَادٌّ وَمَرْدُوْدٌ عَلَيْهِ،
اِلّا صَاحِبَ هَذَا الْقَبْرِ
“Tidak ada diantara kita kecuali bisa diterima dan ditolak (pendapatnya),kecuali penghuni makam ini
(Rosululloh saw).
Imam Asy Syafi’I berkata:
مَنِ اسْتَبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُوْلِ
الله ِصَلّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ لَمْ يَحِلَّ لَهُ اَنْ يَدَعَهَا لِقَوْلِ اَحَدٍ
“Barangsiapa telah tampak jelas sunnah Rosululloh saw baginya,maka
tidak halal baginya menigggalkan sunnah itu dan beralih kepada pendapat
seseorang”
Perbedaan
pendapat dalam masalah-masalah furu’iyah ini kalau dipaksa harus disatukan
justru bertentangan dengan karakteristik agama Islam.Alloh menghendaki agar
agama ini bertahan abadi dan mampu mengikuti perkembangan zaman,Oleh karena
itu,masalah-masalah yang tidak prinsipil dalam agama ini dibuat elastis,luwes,mudah,tidak
mandeg dan tidak kaku.
Perbedaan
pendapat dalam masalah fiqh tidaklah mengurangi nilai keunggulan agama
Islam,sebaliknya justru menjadi berkah dan rahmat bagi ummat Islam.Seperti
diketahui,dalam bidang fiqh,munculnya dua atau lebih pendapat adalah suatu hal
yang lazim.”Fiihi Qoulaani…fiihi
tsalatsatu aqwal,dst) Suatu ketika,bila didapati kesempitan dalam suatu
madzhab,ummat Islam bisa mendapati kemudahan dalam madzhab yang lain,apakah
dalam bidang ibadah,muamalah,munakahah,maupun jinayah,yang kesemuanya berdasar
pada dalil-dalil syara’ dan dibenarkan.
Kholifah Ja’far al Manshur pernah
menggagas untuk menetapkan Madzhab Maliki berikut al Muwaththo’ saja sebagai
Undang-Undang Khilafah Abbasiyah.Imam Malik bin Anas justru menolak dan
berkata,”Sesungguhnya para sahabat Rosululloh saw berpendar-pencar di wilayah
Islam yang sangat luas padahal masing-masing kaum mempunyai pengetahuan.Apabila
anda membawa mereka hanya pada satu pendapat saja maka bisa terjadi kekacauan.”
Dalam masalah
perbedaan pendapat fiqh ini yang kemudian dituntut dari kita adalah sikap
toleran (tasamuh),berlapang dada,dan saling menghargai,karena semuanya
didasarkan pada dalil-dalil syara’ dan hasil kesungguhan berijtihad.Tidak
fanatik (ta’ashshub) buta dan mengklaim benar sendiri.Kita harus memandang
perbedaan ini bukanlah suatu sekat yang meretakkan hubungan batin dan kendala
untuk bekerja sama dalam kebaikan.Para sahabat dan ulama salaf dahulu pun
kadang-kadang berbeda pendapat,namun hal itu tidak menjadikan mereka retak
hubungan,berselisih dan berpecah.
Imam Syafi’I tatkala melaksanakan
sholat subuh bersama jamaah pengikut madzhab Hanafi di Bagdad,beliau tidak
melakukan qunut,padahal qunut subuh merupakan madzhab beliau.Artinya beliau
memahami bahwa diluar madzhab beliau pun ada kebenaran.
Imam Abu Hanifah semula berpendapat
bahwa bersedekah lebih utama daripada haji tathowwu’ (haji sunnah).Namun ketika
beliau melaksanakan haji dan melihat beratnya pelaksanaan ibadah haji,beliau
mengubah pendapatnya menjadi mengutamakan haji tathowwu’ atas sedekah.Kebenaran
hanya milik Alloh dan rosululloh saw.
Namun,hal
ini bukan berarti bahwa bermadzhab dalam
maslah fiqh harus ditinggalkan.Para ulama yang merumuskan sekian banyak madzhab
itu sesungguhnya adalah acuan kita dalam memahami agama.Agama Islam ibarat
samudara tak bertepi,dan Ulama’ lah yang mengalirkan samudra itu menjadi
sungai-sungai dan sumur.Memahami agama tanpa ulama adalah sikap yang tidak
benar dan tidak jujur.Apalagi sering didapati kelompok atau orang yang mengaku
lepas dari madzhab,kenyataannya dia mengulang dan mengacu juga pada
ulama’,ibarat berlari dari air tapi tercebur juga pada air itu.Namun usaha kita
untuk terus meningkatkan wawasan keagamaan adalah suatu tuntutan kita beragama
juga.Firman Alloh swt:
Dan
apabila datang kepada mereka suatu berita tentang keamanan ataupun ketakutan,
mereka lalu menyiarkannya. dan kalau mereka menyerahkannya kepada Rasul dan
ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya (akan dapat) mengetahuinya dari mereka (rasul dan ulil Amri) QS An Nisa’: 83
Satu hal yang
perlu diingat bahwa dulu kaum muslimin
jika berbeda pendapat mereka merujuk kepada Kholifah untuk mencari
penyelesaianya.Sedangkan sekarang dimanakah Kholifah itu? Maka sepatutnya kaum
muslimin mencari Qodli dan Mufti,tapi dimanakah Qodli dan Mufti itu?
Kita
ingatlkan sekian kalinya bahwa perbedaan pendapat yang mengarah kepada keluasan
cara berfikir (sa’atul fikri) adalah suatu perbedaan yang terpuji,sedang
perbedaan pendapat yang mengarah kepada perpecahan (syiqoq) adalah suatu yang
tercela.
Akhirnya,prinsip
“Kita saling membantu dalam hal-hal yang kita sepakati dan toleran untuk hal
yang kita perselisihkan (selama tidak mengarah pada perpecahan)”,senantiasa
mari kita lestarikan,seraya kita berusaha meningkatkan wawasan keagamaan kita
.
4 Januari 2004 – 11 Dzulqo’dah 1424 H
0 komentar:
Posting Komentar